Lorong Gelap Desa, HOROR

Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi hutan lebat, terdapat sebuah lorong gelap yang terletak di ujung jalan. Lorong tersebut dikenal sebagai “Lorong Setan” oleh penduduk desa. Konon, siapa pun yang berani melintasinya saat malam hari tidak akan pernah kembali. Legendanya berawal dari hilangnya seorang wanita desa yang sangat cantik, bernama Siti. Ia sering terlihat berjalan sendirian di lorong itu, dan suatu malam, ia menghilang tanpa jejak.

Orang-orang desa mengatakan bahwa Siti telah dijemput oleh roh yang menghuni lorong itu. Sejak saat itu, penduduk desa yang berani mencoba melewati lorong tersebut akan merasakan ketakutan yang mendalam, seolah ada yang mengawasi mereka. Tidak ada satu pun yang berani mencobanya, kecuali seorang pemuda bernama Rudi.

Rudi adalah seorang pemuda yang dikenal pemberani dan sangat penasaran. Suatu malam, dia terbakar dengan rasa ingin tahu untuk mengetahui kebenaran tentang lorong itu. Dia mengumpulkan teman-temannya: Ani, Dika, dan Fira. Meskipun ragu, mereka akhirnya setuju untuk menemaninya.

Malam itu, mereka berempat berjalan menuju lorong. Suasana sangat sunyi, dan hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Ketika mereka mencapai ujung jalan, lorong itu terlihat menakutkan. Awan gelap berkumpul di atas kepala mereka, memberi kesan suram.

“Apakah kalian siap?” tanya Rudi, menantang mereka untuk melanjutkan. Teman-temannya terlihat ragu, tetapi semangat Rudi membuat mereka merasa terpaksa.

Mereka melangkah ke dalam lorong. Hawa dingin menyengat, seolah-olah lorong itu memiliki kehidupannya sendiri. Setiap langkah menggema seakan mengingatkan mereka akan bahaya yang ada. Rudi memimpin sambil menyalakan senter, dan kedalaman lorong mulai memunculkan bayangan-bayangan yang menakutkan.

“Tunggu sebentar,” kata Dika, berhenti sejenak. “Aku mendengar sesuatu.”

Mereka semua berhenti dan mencoba mendengarkan. Suara berbisik halus terdengar di tengah keheningan, seolah ada seseorang yang memanggil nama mereka. Fira menggigil ketakutan dan menggenggam lengan Ani.

“Ini semua hanya khayalan kita,” kata Rudi mencoba meyakinkan mereka. Namun, saat dia melanjutkan langkahnya, dia tidak bisa menghilangkan rasa gelisah di hatinya.

Mereka melanjutkan perjalanan dan semakin dalam memasuki lorong. Tiba-tiba, senter Rudi berkelap-kelip sebelum akhirnya padam. “Aduh, senterku!” teriaknya panik.

“Terang bulan masih cukup untuk menuntun kita, kan?” kata Ani berusaha menenangkan suasana.

Saat mereka melangkah lebih jauh, lorong tampak lebih sempit dan lebih gelap. Suara bisikan yang tadinya samar kini semakin jelas, seolah berpadu menjadi satu nyanyian yang mencekam. Rudi merasa ketidaknyamanan semakin menyelimuti mereka. Dia berhenti sejenak dan berbalik ke arah teman-temannya.

“Mungkin kita sebaiknya kembali,” ujarnya, tetapi saat itu suara lain terdengar menggelegar di telinga mereka, memaksa mereka untuk berhenti sejenak.

“Jangan pergi…,” suara itu berdesir, membuat bulu kuduk mereka merinding. Mereka menatap satu sama lain, ketakutan merebak di antara mereka.

Tapi rasa ingin tahu dan keberanian Rudi menolak untuk mundur. “Kami pasti bisa melewatinya,” katanya, bertekad. “Apa pun yang terjadi, kita tidak akan mundur.”

Mereka melanjutkan perjalanan, tetapi suasana semakin berat. Bayangan-bayangan rancak melintas di sudut penglihatan mereka, membuat mereka terus berpaling dan menoleh. Satu per satu, ketegangan mulai mendorong mereka menjadi putus asa.

Saat mereka hampir mencapai bagian tengah lorong, mereka melihat sebuah cahaya kecil bersinar dari kejauhan. Mereka berhenti dan saling menatap, Rudi mengisyaratkan untuk maju. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa menjelaskan semua ini.

Ketika mereka mendekat, cahaya itu semakin terang, dan sosok seorang wanita tampak berdiri di tengah lorong. Dia mengenakan gaun putih, dan wajahnya tampak cantik namun penuh kesedihan. Rudi merasa hatinya berdebar. “Siti?” dia bertanya tanpa sadar.

Wanita itu memandang mereka dengan mata yang penuh air mata. “Tolong… bantu aku,” katanya lirih. “Aku terjebak di sini karena kesalahan yang tidak dapat aku perbaiki.”

“Kesalahan apa?” tanya Rudi, terpesona oleh ketulusan suara itu.

“Aku ditangkap oleh roh jahat yang mengawal lorong ini. Ia menginginkan jiwa-jiwa muda untuk menghidupkan dirinya kembali. Jika kalian tetap di sini, kalian akan menjadi korban berikutnya,” Siti menjelaskan dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Fira menjerit. “Kita harus pergi sekarang! Dia terjebak di sini untuk selamanya!”

“Tapi… kita tidak bisa meninggalkannya,” Rudi berpendapat. Dia merasa ada koneksi yang dalam dengan Siti, seolah mereka telah saling kenal lama.

Siti menjawab, “Jika kalian ingin menyelamatkanku, kalian harus menghadapi roh itu. Dia berada di ujung lorong, menunggu untuk melahap jiwa-jiwa yang haus.”

Tanpa berpikir panjang, Rudi memutuskan. “Kalau begitu, kita harus pergi ke ujung lorong itu dan menghadapi roh tersebut. Jika kita berhasil, mungkin kita bisa membebaskan Siti.”

Mereka melangkah maju, hati mereka berdebar. Semakin dekat mereka dengan ujung lorong, semakin gelap suasana di sekeliling mereka. Bayangan-bayangan bergerak cepat, membuat mereka merasa diintimidasi. Rudi menyalakan layar ponselnya untuk mendapatkan penerangan tambahan.

Ketika mereka tiba di ujung lorong, mereka melihat sebuah pintu besar yang tertutup. Di depan pintu itu, seorang makhluk menjijikan berdiri. Dia memiliki wajah menyeramkan, dengan mata seperti bara api dan taring tajam yang menyeringai.

“Siapa yang berani memasuki wilayahku?” teriak makhluk itu, suaranya menggema seperti guntur. “Siapkan dirimu untuk menjadi makananku!”

Tanpa terduga, Rudi melangkah maju. “Kami bukan makananmu! Kami datang untuk membebaskan Siti!”

Makhluk itu tertawa dengan nada mengerikan. “Bebas? Dia adalah milikku sekarang. Tak ada yang bisa merebutnya dariku!”

Pertarungan antara keberanian dan ketakutan pun dimulai. Rudi dan teman-temannya bersatu untuk menghadapi makhluk tersebut. Mereka menjalin rencana untuk melawannya — berlari memukulkan benda-benda yang ditemukan di sekitar mereka, berusaha mengalihkan perhatian makhluk itu.

Dengan ketenangan yang luar biasa, Siti muncul di sebelah mereka. “Jangan takut! Saya akan membantumu!” katanya, memperkuat keberanian mereka. Kehadiran Siti menumbuhkan harapan di dalam diri mereka.

Mengambil keberanian dari keberadaan Siti, Rudi dan teman-temannya bersatu. Mereka memanjat tembok di sekitar makhluk itu dan mencoba menggunakan kekuatan untuk menghancurkan alam gaib yang mengurung Siti. Cahaya terang mulai memancar dari Siti dan mengelilingi Rudi, Dika, Ani, dan Fira.

“Ayo, kita buat kombinasi kekuatan kita!” teriak Rudi.

Tak terduga, dengan satu serangan bersamaan, mereka mampu mengalirkan kekuatan Siti ke makhluk itu. Dengan teriakan kemarahan, makhluk itu merasakan tubuhnya goyah. Rasa sakit terperangkap meluap dari dalam dirinya, dan ia mulai kehilangan kekuatannya.

Suara gemuruh bergema saat makhluk itu berjuang melawan cahaya yang memancar dari mereka. “Tidak… aku tidak bisa kalah!”

Namun, dengan satu ledakan kekuatan bersama Rudi dan teman-temannya, makhluk itu akhirnya hancur menjadi debu, menghilang ke dalam kegelapan lorong.

Saat hening melanda, cahaya terus bersinar. Siti tersenyum dengan air mata kebahagiaan. “Terima kasih! Sekarang aku bebas!”

Dengan suara lembutnya, dia berbalik kepada mereka. “Tetapi ingat, roh yang kau hadapi memiliki banyak teman. Mereka akan selalu mencoba mengganggu kalian jika kalian melupakan keberanian ini.”

Mereka semua merasakan kehangatan di dalam hati mereka. Siti melangkah dan menghilang dalam cahaya yang menyilaukan, meninggalkan mereka dalam keadaan terkejut.

Setelah kejadian itu, Rudi dan teman-temannya menyadari bahwa mereka telah memperkuat hubungan mereka satu sama lain. Walaupun ketakutan dan kegelapan masih ada di luar sana, mereka tahu sekarang bahwa mereka memiliki keberanian untuk menghadapinya bersama-sama.

Malam itu mereka kembali ke desa, dan cerita tentang keberanian mereka mulai menyebar. Lorong Setan tetap menjadi tempat terlarang, tetapi Siti kini sudah bebas, dan Rudi dan teman-temannya akan selamanya dikenang sebagai pahlawan di desa kecil tersebut.

Melon38, cerita dalam sebuah kehidupan.