Di desa terpencil Tegalrejo, Jawa Tengah, malam hari sering kali dipenuhi simfoni jangkrik dan suara binatang malam yang samar-samar. Namun, baru-baru ini, bisikan gelap telah menyelimuti desa itu: Kuntilanak, roh perempuan yang menakutkan dengan rasa haus akan pembalasan dendam dan darah. Penduduk desa menyebutnya sebagai pertanda kematian, yang berkeliaran di hutan gelap dan memangsa siapa pun yang tidak curiga.
Suatu malam, ketika kabut tebal bergulung dari sawah, sekelompok teman—Rini, saudara laki-lakinya Dedi, dan tetangga mereka Budi—memutuskan untuk menghadapi legenda tersebut. Mereka telah mendengar cerita tentang kemarahan Kuntilanak dan berharap dapat menghilangkan ketakutan yang melanda desa mereka. Dengan lentera, parang, dan segenggam garam, mereka menjelajah ke dalam hutan di bawah kegelapan.
Hutan, yang biasanya merupakan surga yang damai, sangat sunyi saat mereka masuk. Pohon-pohon yang lebat dan meliuk-liuk itu tampak merapat di sekeliling mereka, menghasilkan bayangan-bayangan panjang yang mengancam. Saat cahaya lentera-lentera itu berkedip-kedip, hawa dingin menyelimuti mereka, dan suara-suara hutan yang biasa terdengar memudar menjadi keheningan yang menyesakkan.
Mereka menyusuri jalan setapak yang sempit melalui semak-semak, dipandu oleh cahaya bulan yang pucat. Semakin jauh mereka melangkah, udara semakin dingin, dan rasa takut yang mencekam mulai merasuki tulang-tulang mereka. Rini, yang berusaha tetap tenang, memimpin jalan sementara Dedi dan Budi mengapitnya, dengan saraf-saraf mereka yang tegang.
Tanpa peringatan, api lentera-lentera itu goyang dan padam, menjerumuskan mereka ke dalam kegelapan. Keheningan yang menyesakkan itu tiba-tiba ditembus oleh ratapan lembut dan melengking yang tampaknya bergema dari segala arah. Suara Budi bergetar saat ia menyarankan mereka untuk kembali, tetapi Rini, yang didorong oleh campuran keberanian dan ketakutan, mendesak mereka untuk terus maju.
Ratapan itu semakin keras, berubah menjadi tangisan parau dan sedih yang bergema di antara pepohonan. Kemudian, dari balik bayangan, muncullah Kuntilanak—sosok hantu yang terbungkus kain kafan putih yang compang-camping. Wajahnya, yang tertutup oleh rambut panjang yang acak-acakan, bersinar dengan cahaya yang menakutkan, dan mulutnya, yang menyeringai aneh, memperlihatkan gigi-gigi tajam seperti predator.
Rini, meskipun ketakutan, teringat sebuah pengobatan desa kuno yang pernah didengarnya dengan nada berbisik: sebuah ritual yang melibatkan nyanyian tertentu dan menaburkan garam untuk mengusir Kuntilanak. Dengan jantung berdebar-debar, ia meminta Dedi dan Budi untuk membantunya mempersiapkan ritual tersebut. Mereka dengan cepat menaburkan garam di sekitar lingkaran sementara Rini mulai membacakan mantra yang diingatnya dari cerita-cerita itu.
Saat ia membacakan mantra, ratapan Kuntilanak semakin menggila, dan wujud hantunya berkedip-kedip dan goyah, seolah-olah berjuang melawan kekuatan yang tak terlihat. Udara menjadi tebal dengan energi yang menindas, dan suhu turun drastis. Suara Rini menjadi serak saat ia berusaha keras menyelesaikan mantranya.
Tiba-tiba, Kuntilanak itu menjerit mengerikan dan menerjang mereka dengan kecepatan yang tidak wajar. Matanya, yang kini menyala-nyala dengan api jahat, menatap Rini. Dedi dan Budi mencoba melindunginya, tetapi kekuatan roh itu sangat kuat. Udara berderak dengan energi yang dingin saat Kuntilanak itu mencakar Rini, giginya patah beberapa inci dari tenggorokannya.
Dalam keputusasaan, Rini meraih parang dan mengayunkannya dengan liar, berharap untuk memukul mundur roh itu. Bilahnya menembus Kuntilanak seolah-olah dia terbuat dari kabut, tetapi kemarahan roh itu tampaknya semakin meningkat. Ratapannya berubah menjadi raungan yang memekakkan telinga, dan dia menyerang dengan kekuatan yang membuat Dedi dan Budi terkapar ke tanah.
Rini, tangannya gemetar, terus melantunkan mantra, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kemarahan roh itu. Kuntilanak, yang sempat teralihkan oleh ritual itu, ragu-ragu, tetapi kemarahannya segera kembali terfokus.
Dengan teriakan terakhir yang mengerikan, dia menerjang Rini, wujud hantunya menyelimutinya dalam pelukan dingin yang menyesakkan.
Lentera-lentera itu berkedip-kedip kembali hidup saat wujud Kuntilanak mulai menghilang, meninggalkan keheningan yang dingin. Dedi dan Budi, babak belur dan ketakutan, bergegas ke sisi Rini, tetapi sudah terlambat. Dia tergeletak tak bergerak di lantai hutan, wajahnya membeku dalam ekspresi ngeri. Kuntilanak telah mengklaimnya, hanya meninggalkan gema teriakan terakhirnya.
Desa Tegalrejo terbangun dengan berita suram tentang kepulangan ketiganya. Hutan, yang dulunya merupakan tempat pelipur lara, telah menjadi alam mimpi buruk. Legenda Kuntilanak bukan lagi sekadar cerita, tetapi kenyataan hidup yang mengerikan. Penduduk desa berbicara dengan nada berbisik tentang kejadian malam itu, mata mereka terbelalak ketakutan, dan hutan menjadi tempat yang menakutkan, selamanya dihantui oleh amarah roh.
Saat mereka meninggalkan rumah tua itu, tangisan kesedihan roh itu seakan memudar menjadi bisikan. Kampung itu segera diberkahi dengan rasa tenang yang tidak nyaman, dan kejadian-kejadian gaib pun berkurang. Namun, kejadian terakhir terjadi malam itu ketika Hani, sendirian di rumahnya, mendengar ketukan pelan di pintunya. Saat membukanya, dia bertemu dengan Sundel Bolong, yang berbisik, “Terima kasih” sebelum menghilang selamanya. Hani, Agus, dan Sari telah mencapai tujuan mereka, tetapi gambaran menghantui dari lubang menganga itu masih terukir dalam pikiran mereka. Kampung itu, yang sekarang terbebas dari teror roh, telah belajar bahwa terkadang, bahkan entitas yang paling menakutkan pun dapat menemukan kedamaian—hanya meninggalkan gema tawa hantu mereka.
Melon38, Satu cerita dari ribuan kisah kehidupan.